Senin, 21 Agustus 2017

PERSPEKTIF KEBIJAKAN KRIMINAL TENTANG CYBERCRIME ( 1 )



PERSPEKTIF KEBIJAKAN KRIMINAL TENTANG CYBERCRIME
Tulisan ini disarikan dari tulisan Arne Huzaimah

Abstract: The information and communication technology has changed the behavior of the society and human civilization globally. In addition, the development of information technology has brought about a borderless world and a social change which significantly take place so rapidly. So, besides promising some hopes, the existence of information technology simultaneously generates new anxieties, such as the emergence of a new and more sophisticated crime in the form of cyber crime. This writing reviews cyber crime and Indonesian legal policy in responding to such crime.



Kata Kunci: kriminal, cybercrime
Teknologi informasi  (information technology) memegang peran yang penting, baik di masa kini maupun di masa yang akan datang. Teknologi informasi diyakini membawa keuntungan dan kepentingan yang besar bagi negara-negara di dunia. Setidaknya ada 2 (dua) hal yang membuat teknologi informasi dianggap begitu penting dalam memacu pertumbuhan ekonomi dunia. Pertama, teknologi informasi mendorong permintaan atas produk-produk teknologi informasi itu sendiri, seperti komputer, modem, sarana untuk membangun jaringan internet dan sebagainya; Kedua, adalah memudahkan transaksi bisnis terutama bisnis keuangan di samping bisnis-bisnis umum lainnya (Agus 2002: 1).

            Kemajuan teknologi informasi sekarang dan kemungkinannya di masa yang akan datang tidak lepas dari dorongan yang dilakukan oleh perkembangan teknologi komunikasi dan teknologi komputer, sedangkan teknologi komputer dan telekomunikasi didorong oleh teknologi mikroelektronika, material dan perangkat lunak. Kimia, fisika, biologi dan matematika mendasari ini semua. Perpaduan antara teknologi informasi dan komputer telah melahirkan internet yang menjadi tulang punggung teknologi informasi.

            Kehadiran internet telah membuka cakrawala baru dalam kehidupan manusia. Internet merupakan sebuah ruang informasi dan komunikasi yang menjanjikan menembus batas-batas antar negara dan mempercepat penyebaran dan pertukaran ilmu dan gagasan di kalangan ilmuan dan cendikiawan di seluruh dunia. Internet membawa kepada ruang atau dunia baru yang tercipta yang dinamakan cyberspace.
            Cyberspace menampilkan realitas, tetapi bukan realitas yang nyata, melainkan realitas virtual (virtual reality), dunia maya, dunia yang tanpa batas. Inilah yang sebenarnya yang dimaksud dengan borderless world, karena memang dalam cyberspace tidak mengenal batas negara, hilangnya batas dimensi ruang, waktu dan tempat sehingga penghuninya dapat berhubungan dengan siapa saja dan dimana saja (Ono 2000: 50).
            Proses cybernation yang menimbulkan harapan akan kemudahan, kesenangan dan kesempatan itu ternyata tidak selamanya demikian, karena dalam cyberspace juga terdapat sisi gelap yang perlu diperhatikan sebagaimana yang dikatakan oleh Neil Barret:

            The internet, however, also has a darker side – in particuler, it is widwly cinsidered to provide  access almost exclusively to pornography. A recent, well-publicized survey suggested that over 80 % of picture on the internet were pornographic. While the survey result itself was found to be entirely erroneous, the observation that the internet can and does contain illicit, objectionable or downright illegal material is perfectly valid. As we shall see, the internet support fraudulent traders, terrorist informatio exchanges pedophiles, sofware pirates, computer hackers and many more (Neill 1997: 21).

Teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah perilaku masyarakat dan peradaban manusia secara global. Selain itu, perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial yang secara signifikan berlangsung demikian cepat. eksistensi teknologi informasi, selain menjanjikan sejumlah harapan, pada saat yang sama juga melahirkan kecemasan-kecemasan  baru antara lain munculnya kejahatan baru  yang lebih canggih dalam bentuk cybercrime. Maka upaya pencegahan dan penanggulangan cybercrime  ini merupakan faktor yang tidak dapat ditunda-tunda. Kebijakan kriminal harus dilakukan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan cybercrime. Hal tersebut dapat dilakukan melalui pendekatan penal (dengan melalui kriminalisasi perbuatan-perbuatan yang dapat dijadikan sebagai perbuatan cybercrime serta sanksi pidananya), dan juga dapat dilakukan dengan pendekatan non penal, yang dalam hal ini melalui pendekatan budaya.

Bentuk-bentuk Cybercrime
Cybercrime atau kejahatan di dunia cyber mempunyai banyak bentuk, antara lain: cyber-pornography, cyber- terrorism, hacking dan sebagainya. Manap (2001: 3) membedakan bentuk-bentuk cybercrime menjadi 3 (tiga), yaitu:
1). Cybercrime againts property, meliputi theft ( berupa theft of information, theft of property and theft of services), fraud/cheating, forgery and mischief.
2). Cybercrime againts persons, meliputi pornography, cyber-harassment, cyber-stalking dan cyber-trespass. Cyber-trespass meliputi Spam- E-mail, Hacking a Web Page dan Breaking into Personal Computer.
3). Cyber-terrorism.
Kongres PBB ke-10 (Tenth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offender) di Vienna pada tanggal 10-17 April 2000, membagi 2 sub kategori cybercrime yaitu:
1.Cybercrime in a narrow sense (computer crime); any illegal behaviour directed by means of electronic operations that targets the security of computer systems and the data processed by them.
2.Cybercrime in a broader sense (computer related crime); any illegal behaviour commited by means of, or in relation to, a computer system or network, including such crimes as illegal possession, offering or distributing information by means of a computer system or network.
Ditegaskan dalam dokumen di atas, bahwa cybercrime meliputi kejahatan yang dilakukan: (1) dengan menggunakan sarana-sarana dari sistem/jaringan komputer (“by means of a computer system or network”); (2) di dalam sistem/jaringan komputer (“in a computer system or network”); (3) terhadap sistem/jaringan komputer (“againts a computer system or network”). Dengan demikian bahwa cybercrime  jenis ke-(1) dan ke-(2) merupakan cybercrime dalam arti “luas”; sedangkan jenis ke-(3) merupakan cybercrime dalam arti “sempit”.

            Dari kesemua bentuk cybercrime, hacking merupakan bentuk  yang banyak mendapat sorotan, karena selain Kongres PBB X di Wina menetapkan hacking sebagai First Crime, juga dilihat dari aspek teknis, hacking mempunyai kelebihan-kelebihan. Pertama, orang yang melakukan hacking sudah barang tentu dapat melakukan cybercrime yang lain karena dengan kemampuan masuk ke dalam sistem komputer dan kemudian mengacak-acak sistem tersebut; Kedua, secara teknis pelaku hacking kualitas yang dihasilkan dari hacking lebih serius dibandingkan dengan bentuk cybercrime yang lain, misalnya hanya sekedar pornograpi. Untuk melakukan atau menyebarkan gambar-gambar porno, seseorang tidak perlu harus memiliki kemampuan hacking, demikian juga penyebar virus lewat e-mail, kemampuan yang harus dimiliki oleh pelaku cybercrime seperti itu cukup kemampuan minimal berupa kepandaian mengoperasikan internet berupa mengakses dan mentransfer file.

            Adapun tahap-tahap hacking yang dapat dikonstruksi sebagai berikut:
1.Mengumpulkan dan mempelajari informasi yang ada mengenai sistem operasi komputer atau jaringan komputer yang dipakai pada target sasaran.
2.Menyusup atau mengakses jaringan komputer target sasaran.
3.Mnjelajahi sistem komputer (dan mencari akses yang lebih tinggi).
4.         Membuat backdoor dan menghilangkan jejak.

Tidak setiap tahap dari hacking dapat disebut sebagai kejahatan. Tahap pertama dari hacking tidak dapat disebut sebagai kejahatan karena belum dapat dikatakan ada bahaya serius yang mengancam. Tahap kedua sampai keempat, dapat disebut sebagai kejahatan. Tahap kedua merupakan kejahatan yang paling ringan karena dalam tahap ini hanya bersifat masuk atau menyusup dan belum ada unsur destruktif. Tahap ketiga dan keempat sudah mengandung unsur destruktif sehingga akibat yang ditimbulkan lebih buruk dibandingkan dengan tahap kedua (Agus 2002: 182).

Terima kasih telah membaca artikel ini semoga bermanfaat dan dilanjutkan pada terbitan berikutnya .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Contoh laporan Penelitian Tindakan Kelas

< !-- Bahan pelajaran --> BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Masalah Semua guru atau siswa pasti selal...