Selasa, 22 Agustus 2017

Perspektif Kebijakan Kriminal terhadap Cybercrime ( 2 )


Perspektif Kebijakan Kriminal terhadap Cybercrime

            Dalam rangka upaya penanggulangan cybercrime, Resolusi  Kongres PBB VIII Tahun 1990 mengenai “Computer related crimes” mengajukan beberapa kebijakan antara lain:

1.Menghimbau negara anggota untuk mengintensifkan upaya-upaya penanggulangan penyalahgunaan komputer yang lebih efektif dengan mempertimbangkan langkah-langkah sebagai berikut:


a.Melakukan modernisasi hukum pidana materiel dan hukum acara pidana;
b.Mengembangkan tindakan-tindakan pencegahan dan pengamanan komputer;
c.Melakukan langkah-langkah untuk membuat peka (sensitif) warga masyarakat, aparat pengadilan dan aparat penegak hukum terhadap pentingnya pencegahan kejahatan yang berhubungan dengan komputer (cybercrime);
d.Melakukan upaya-upaya pelatihan (training) bagi para hakim, pejabat dan aparat penegak hukum mengenai kejahatan ekonomi dan cybercrime;
e.Memperluas “rules of ethics” dalam penggunaan komputer dan mengajarkannya melalui kurikulum informatika;
f.Mengadopsi kebijakan perlindungan korban cybercrime sesuai dengan deklarasi PBB mengenai korban melaporkan adanya cybercrime;

2.Menghimbau negara anggota meningkatkan kegiatan internasional dalam upaya penanggulangan cybercrime;

3.Merekomendasikan kepada Komite Pengendalian dan Pencegahan Kejahatan  PBB untuk :

-Menyebarluaskan pedoman dan standar untuk membantu negara anggota menghadapi cybercrime di tingkat nasional, regional dan internasional;
-Mengembangkan penelitian dan analisis lebih lanjut guna menemukan cara-cara baru menghadapi problem cybercrime di masa yang akan datang;
-Mempertimbangkan cybercrime sewaktu meninjau pengimplementasian perjanjian ekstradisi dan bantuan kerjasama di bidang penanggulangan kejahatan (Barda 2002: 253-254).
Indonesia, sebagai salah satu negara anggota PBB, sudah seharusnyalah memperhatikan dan melaksanakan garis-garis kebijakan yang telah direkomendasikan tersebut. Upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap cybercrime dapat dilakukan dengan cara melakukan kebijakan kriminalisasi terhadap perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai cybercrime.

Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana. Pada hakikatnya, kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana hukum pidana, dan karena itu termasuk bagian dari kebijakan hukum pidana (Barda 2001: 2-3).

            Berkaitan dengan cybercrime, maka pertama-tama yang harus ditentukan terlebih dahulu adalah pengaturannya. Ada beberapa pilihan dalam mengatur masalah cybercrime (Wisnubroto 2000: 4-6):
a.Diatur dalam Undang-undang khusus tentang Penyalahgunaan Komputer.
b.Diintegrasikan ke dalam kodifikasi (KUHP) dengan cara menambah, menyisipkan atau merubah/memperbaharui pasal-pasal dalam KUHP
c.Diatur baik dalm kodifikasi (KUHP) maupun dalam Undang-undang Khusus.

Suatu pengaturan secara khusus diperlukan apabila cybercrime dianggap sebagai kejahatan kategori baru (new category of crime) yang membutuhkan suatu kerangka hukum yang baru dan komprehensif untuk mengatasi sifat khusus tehnologi yang sedang berkembang dan tantangan baru yang tidak ada pada kejahatan biasa, dan karena itu perlu diatur secara tersendiri di luar KUHP. Sedangkan apabila menganggap cybercrime sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) yang dilakukan dengan komputer teknologi tinggi (high-tech) dan KUHP dapat dipergunakan untuk menanggulanginya baik melalui amandemen KUHP maupun perubahan KUHP secara menyeluruh (Reksodiputro 2002: 2-3).

Untuk menentukan pilihan tersebut maka secara konseptual harus mempertimbangkan sistem hukum (pidana) Indonesia. Rene David pernah mengatakan bahwa sistem hukum di Indonesia adalah mixed system of law (Barda 1994: 24). Namun di bidang hukum publik khususnya hukum pidana tradisi hukum kontinental nampak lebih menonjol dalam praktek dan pengembangan ilmu hukum. Oleh karena itu pengembangan pengaturan mengenai masalah cybercrime lebih tepat apabila menggunakan pendekatan integratif dengan pengaturan dalam KUHP baik melalui amandemen maupun perubahan menyeluruh KUHP.

Suatu upaya kriminalisasi terhadap cybercrime perlu memperhatikan hal-hal fundamental sebagai berikut: (Sudarto 1983: 44-48)
a.Tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur secara material dan spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan penganugerahan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.

b.Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, tidak disukai atau dibenci oleh warga masyarakat yaitu perbuatan yang merugikan atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban. Selain itu harus dapat pula dipertimbangkan sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat.
c.Perhitungan prinsip biaya dan hasil (cost benefit principle) dari penggunaan hukum pidana tersebut, yaitu apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan dicaapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegak hukum, serta beban yang dipikul oleh korban dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai.
d.Kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas dan keseimbangan sarana-sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil-hasil yang ingin dicapai.

Selain kelima hal tersebut di atas perlu pula berpedoman pada 6 (enam) asas yang dikemukakan De Roos, yaitu; (Reksodiputro 2002: 5)
a.masuk akalnya kerugian yang digambarkan;
b.adanya toleransi yang didasarkan pada kehormatan atas kebebasan dan tanggungjawab individu;
c. apakah kepentingan yang dilanggar masih dapat dilindungi dengan cara lain;
d. ada keseimbangan antara kerugian, toleransi dan pidana yang diancamkan;
e. apakah kita dapat merumuskan antara kerugian, toleransi dan pidana yang diancamkan;
f. kemungkinan penegakannya secara praktis dan efektif (serta dampaknya pada prevensi umum).

Dengan demikian kriminalisasi dalam cybercrime setidaknya terdapat tiga hal yang perlu dipertimbangkan dalam mengkriminalisasikan perbuatan cybercrime, yaitu:
a.         Hendaknya dipilih perbuatan-perbuatan yang benar-benar merugikan dan dapat menimbulkan akses serius (prinsip selektif dan limitatif) agar pengaturan perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan cybercrime tidak bersifat overcriminalization sehingga justru akan berdampak counterproductive bagi pengembangan teknologi komputer di bidang multimedia atau TI yang sangat dibutuhkan oleh negara Indonesia daalam menghadapi era globalisasi.
b.         Hendaknya dipertimbangkan apakah biaya yang harus dikeluarkan untuk menyusun ke
tentuan yang mengatur delik komputer yang dikategorikan sebagai tindak pidana mayantara yang bersifat rumit dan kompleks, biaya untuk mengawasi dan menegakkan ketentuan tersebut yang memerlukan fasilitas atau sarana teknologi tinggi dan beban yang harus dipikul korban akan berimbang dengan hasil yaitu situasi tertib hukum di dunia cyber.
c.         Hendaknya dipertimbangkan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum di Indonesia yang nantunya akan dibebani tugas untuk menegakkan ketentuan yang mengatur delik komputer yang dikategorikan sebagai perbuatan cybercrime, sehingga tidak terjadi beban tugas yang bersifat overbelasting sehingga banyak peraturan yang dibuat ternyata dalam prakteknya di lapangan tidak dapat ditegakkan.

Upaya kriminalisasi terhadap perbuatan cybercrime dilakukan dengan pendekatan evolusioner dengan cara memperluas pengertian-pengertian yang terdapat dalam Rancangan UUKUHP 1999/2000. Dikatakan evolusioner karena dari RUU KUHP yang ada sebelumnya tidak memperluas pengertian-pengertian yang terkait kegiatan-kegiatan di cyberspace. Menurut Barda (2002: 264-266), kebijakan yang ditempuh sementara dalam Konsep 2000 yang berkaitan dengan kegiatan di cyberspace adalah sebagai berikut:
1.     Dalam Buku I (Ketentuan Umum) dibuat ketentuan meengenai:
a.    Pengertian “barang” (Pasal 174) yang di dalamnya termasuk benda tidak berwujud berupa data dan program komputer, jasa telepon atau telekomunikasi atau jasa komputer.
b.     Pengertian “anak kunci” (Pasal 178) yang di dalamnya termasuk kode rahasia, kunci masuk komputer, kartu magnetik, sinyal yang telah diprogram untuk membuka sesuatu. Maksud dari anak kunci di sini kemungkinan besar adalah password atau kode-kode tertentu seperti private atau public key infrastructure.
c.      Pengertian “surat” (Pasal 188) termasuk data tertulis atau tersimpan dalam disket, pita magnetik, media penyimpanan komputer atau penyimpanan data elektronik lannya.
d.     Pengertian “ruang“ (Pasal 189) termasuk bentangan atau terminal komputer yang dapat diakses dengan cara-cara tertentu. Maksud ruang ini kemungkinan termasuk pula dunia maya atau mayantara atau cyberspace atau virtual reality.
e.    Pengertian “masuk” (Pasal 190) termasuk mengakses komputer atau masuk ke dalam sistem komputer. Maksud masuk ini adalah masuk ke dalam sistem jaringan informasi global yang disebut internet dan kemudian baru masuk ke sebuah situs atau website yang di dalamnya berupa server dan komputer  yang termasuk dalam pengelolaan situs.
f.    Pengertian “jaringan telepon” (Pasal 191) termasuk jaringan komputer atau sistem komunikasi komputer
.
2.         Dalam Buku II
Dengan dibuatnya ketentuan seperti di atas, maka Konsep tidak atau belum membuat delik khusus untuk cybercrime atau computer-related crime. Konsep juga mengubah perumusan delik atau menambah delik-delik baru yang berkaitan dengan kemajuan teknologi, dengan harapan dapat menjaring kasus-kasus cybercrime, antara lain:

a.   Menyadap pembicaraan di ruang tertutup dengan alat bantu teknis (Pasal 263).
b.   Memasang alat bantu teknis untuk tujuan mendengar atau merekam pembicaraan (Pasal 264).
c.   Merekan (memiliki atau menyiarkan) gambar dengan alat bantu teknis di ruang tidak untuk umum (Pasal 266).
d.         Merusak atau membuat tidak dapat dipakai bangunan untuk sarana atu prasarana pelayanan umum, seperti bangunan telekomunikasi atau komunikasi lewat satelit atau komunikasi jarak jauh (Pasal 546).
e.         Pencucian uang atau money laundering (Pasal 641-642).
Selain upaya kriminalisasi dengan pendekatan evolusioner, Indonesia juga melakukan kriminalisasi dengan pendekatan global yaitu cybercrime diatur secara umum dalam Rancangan Undang-undang Teknologi Informasi. Pasal-pasal mengenai ketentuan pidana terdapat dalam Pasal 29 – 40 RUU Teknologi Informasi yaitu:
1.      Pasal 29
Barangsiapa yang melanggar ketentuan sebgaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 20 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100 juta.
2.         Pasal 30
Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum menggunakan nama domain yang bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan Hak Kekayaan Intelektual pihak lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500 juta
3.         Pasal 31
Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mengakses data komputer atau program komputer atau jaringan komputer dengan atau tanpa merusak sistem keamanan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100 juta.
4.         Pasal 32
(1)        Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum menahan atau mengintersepsi pengiriman data komputer dari atau ke dalam sistem komputer atau jaringan komputer untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100 juta
(2)        Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mengintersepsi pengiriman data komputer sehingga menghambat komunikasi dalam sistem komputer atau jaringan komputer atau sistem komunikasi dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500 juta.
5.         Pasal 33
(1)        Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mengubah, menghapus atau merusak data komputer atau program komputer atau data elektronik lainnya dipidana dengan pidana pejara paling lama 1 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100 juta.
(2)        Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum memasukkan, mengubah, menambah atau menghapus data komputer atau data elektronik lainnya yang mengakibatkan terganggunya fungsi sistem komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500 juta.
6.         Pasal 34

Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum menggunakan, mengubah, menambah atau menghapus data komputer atau sistem komputer atau jaringan komputer yang mengakibatkan timbulnya kerugian ekonomis bgi pihak lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500 juta.
7.         Pasal 35
(1)        Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum memproduksi, menjual, mengimpor atau mendistribusi-kan peralatan sistem komputer termasuk program komputer, sandi akses, kode akses komputer atau data sejenis untuk melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 30 dan Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500 juta.
8.         Pasal 36
(1)        Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum membuat, menyediakan atau mengirimkan, mendistribusikan data atau tulisan atau gambar atau rekaman yang isinya melanggar kesusilaan dengan menggunakan sistem komputer atau jaringan komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200 juta.
9.         Pasal 37
Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum menggunakan sistem komputer atau jaringan komputer  mengirimkan data atau tulisan atau gambar atau rekaman yang isinya mengancam orang lain sehingga mengakibatkan terganggunya ketenteraman orang tersebut  dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 900 juta
10.       Pasal 38
Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum menggunakan sistem komputer atau jaringan komputer mengirimkan data atau tulisan atau gambar atau rekaman yang isinya menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dipidana dengaan pidana penjara palig lama 1 tahu dan/atau denda paling banyak Rp. 100 juta.
11.       Pasal 39
(1)        Barangsiapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dan melawan hukum membuat, menyediakan atau mengirimkan data atau tulisan atau gambar atau rekaman yang bertentangan dengan kewajibannya selaku produsen dalam transaksi perdagangan melalui jaringan komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500 juta.
(2)        Barngsiapa dengan maksud menguntungkan diri sediri atau orang lain dan melawan hukum menggunakan identitas palsu atau data yang bukan miliknya dalam transaksi perdagangan melalui internet atau jaringan komputer agar orang lain menyerahkan barang sesuatu kepadanya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500 juta
Ketentuan pidana yang terdapat dalam RUU Teknologi Informasi adalah upaya penanggulangan kejahatan di dunia cyber dengan menggunakan Kebijakan Kriminal melalui sarana penal. Meskipun sarana penal (hukum pidana) digunakan sebagai ultimum remedium, akan tetapi harus tetap disadari bahwa hukum pidana mempunyai keterbatasan kemampuan dalam menanggulangi kejahatan. Oleh karena itu, agar penanggulangan cybercrime ini dapat dilakukan secara menyeluruh maka tidak hanya pendekatan yuridis (penal) yang dilakukan, tetapi dapat juga dilakukan dengan pendekatan non penal.

Dalam konteks cybercrime ini erat hubungannya dengan teknologi, khususnya teknologi komputer dan telekomunikasi sehingga pencegahan cybercrime dapat digunakan melalui saluran teknologi. Pendekatan teknologi ini merupakan sub sistem dari sebuah sistem yang besar, yaitu pendekatan budaya, karena teknologi merupakan hasil dari kebudayaan atau kebudayaan itu sendiri. Pendekatan budaya ini perlu dilakukan karena untuk membangun dan membangkitkan kepekaan warga masyarakat dan aparat penegak hukum terhadap masalah cybercrime dan menyebar- luaskan atau mengajarkan etika penggunaan komputer melalui media pendidikan.

Kesimpulan
            Cybercrime merupakan salah satu bentuk kejahatan bertehnologi. Dia hadir karena lahirnya tehnologi informasi dan ia akan tetap ada bersama dengan keberadaan tehnologi informasi/internet. Bentuk-bentuk cybercrime terus berkembang seiring dengan perkembangan internet dan pemanfaatannya. Mengingat internet ini sudah dipakai oleh manusia dalam hampir semua kegiatan, maka upaya pencgahan dan penanggulangan cybercrime  ini merupakan faktor yang tidak dapat ditunda-tunda. Kebijakan kriminal harus dilakukan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan cybercrime. Hal tersebut dapat dilakukan melalui pendekatan  penal (dengan melalui kriminalisasi perbuatan-perbuatan yang dapat dijadikan sebagai perbuatan cybercrime serta sanksi pidananya), dan juga dapat dilakukan dengan pendekatan non penal, yang dalam hal ini melalui pendekatan budaya.

Daftar Pustaka

Agus Raharjo, 2002, Cybercrime, Citra Aditya, Bandung
Ahmad M. Ramli, 2004,Cyber Law dan HAKI, Refika Aditama, Bandung
Al Wisnubroto, 6 Juli 2000, Cybercrime Permasalahan dan Penanggulangan dari Aspek Hukum Pidana, Diskusi Bagian Kepidanaan FH UMY. 
Barda Nawawi Arief, 2002, Perbandingan Hukum Pidana, Raja Grafindo, Jakarta.
Marjono Reksodiputro, 13 –19 Januari 2002, Cyber Crime: Intelectual Property Rights, E-Commerce, Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia di FH Universitas Surabaya.
Nazura Abdul Manaf, 24 Februari 2001,.Cybercrime: Problems and Solutions Under Malaysian Law. Makalah pada Seminar Money Laundering dan Cybercrime dalam Perspektif Penegakan Hukum di Indonesia, diselenggarakan oleh Lab. Hukum Pidana FH Universitas Surabaya.
Neill Barret, 1997, Digital Crime, Policing the Cybernation, Kogan Page Ltd, London.

Sudarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Contoh laporan Penelitian Tindakan Kelas

< !-- Bahan pelajaran --> BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Masalah Semua guru atau siswa pasti selal...