Hak-Hak Perempuan dalam Islam
Dalam Islam, kaum perempuan memperoleh berbagai
hak sebagaimana halnya kaum laki-laki, sebagai contoh dilihat dalam beberapa
hal:
1.
Hak-hak dalam bidang politik
Tidak ditemukan ayat atau hadist yang melarang
kaum perempuan untuk aktif dalam dunia politik. Sebaliknya al-Qur’an dan Hadist
banyak mengisyaratkan tentang kebolehan perempuan aktif menekuni dunia tersebut
(9: 71). Dalam beberapa riwayat disebutkan betapa kaum perempuan banyak memegang peranan penting dalam kegiatan politik,
bahkan dalam QS, 60: 12 melegalisir kegiatan politik kaum perempuan.
2.
Hak dalam memilih pekerjaan
Memilih pekerjaan bagi kaum perempuan juga
tidak ada larangan, baik pekerjaan itu di dalam maupun di luar rumah, baik di
lembaga pemerintahan maupun di lembaga
swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan
dan tetap memelihara agamanya serta tetap menghindari dampak negatif dari pekerjaan
tersebut terhadap diri dan lingkungannya. Dalam Islam kaum perempuan
mendapatkan kebebasan dalam bekeja,
selama mereka memenuhi syarat dan mempunyai hak untuk bekerja dalam bidang apa
saja yang dihalalkan dalam Islam.
3.
Hak Memperoleh pelajaran
Perintah untuk menuntut ilmu pengetahuan dalam
Islam tidak hanya pada laki-laki tetapi juga bagi kaum perempuan, seperti
ditegaskan dalam hadist yang populer dalam masyarakat yaitu: menuntut ilmu pengetahuan adalah wajib bagi kaum muslim
laki-laki dan perempuan .
Dari hadist tersebut dapat dimaklumi bahwa menuntut ilmu
adalah suatu kewajiban baik tiap-tiap
muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Pada masa Nabi Muhammad Saw, perempuan
tidak mau ketinggalan dari kaum laki-laki dalam menuntut ilmu, sehingga mereka
meminta kepada Nabi, supaya disediakan
waktu satu hari dalam seminggu khusus untuk memberikan pelajaran kepada
mereka dengan tidak disertai oleh kaum
laki-laki. Hal tesebut telah dilaksanakan oleh Nabi. Secara teoritis ide
kesetaraan laki-laki dan perempuan telah ada ada dalam sistem etika Islam. Bahkan gerakan perempuan
juga telah muncul pada masa awal Islam. Pada masa Nabi perempuan dapat
melakukan aktifitas secara leluasa dan tidak dibedakan dengan aktifitas yang
dilakukan laki-laki. Nampaknya masa Nabi adalah masa yang ideal bagi kehidupan
perempuan .
Namun pasca Nabi, sejarah agak berubah. Pada masa Umar bin
Khattab (634-644 M) perlakuan baik terhadap perempuan relatif menurun. Umar
mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang agak memarginalkan perempuan. Ia
restriktif terhadap perempuan dalam urusan kehidupan publik dan privat. Bahkan
bertentangan dengan praktik Nabi, menurut Ibnu Sa’ad, Umar melarang mantan
istri-istri Nabi melakukan ibadah haji.
Fatimah Mernisi, tokoh feminis dari Maroko menunjukkan,
berdasarkan sumber Islam pada masa awal, sikap Nabi terhadap
perempuan sangat arif, terbuka dan
toleran, tetapi belakangan muncul tokoh dalam umat yang punya sikap hampir
bertolak belakang dengan sikap Nabi itu. Pemimpin yang ia soroti sebagai orang
yang bertanggung jawab atas penurunan status perempuan dalam Islam adalah
Khalifah Umar. Begitu juga pada masa
Dinasti Bani Abbasiyah, secara mencengangkan
dirasakan hilangnya perempuan dari arena-arena sentral urusan
masyarakat. Dalam periode ini tidak dijumpai kaum perempuan yang menghuni
masjid, berjuang di medan
perang dan mereka pun tidak berpartisipasi sebagai penyumbang-penyumbang kunci
dalam kehidupan budaya dan produksi masyarakat mereka. Anak-anak perempuan hanya belajar
di rumah saja, diberi pelajaran oleh salah seorang karib kerabatnya atau
guru yang didatangkan ke rumah itu. Tidak ditemukan dalam sejarah bahwa
anak-anak perempuan belajar ke kuttab
atau ke masjid, sebagaimana anak-anak laki-laki. Hanya yang dapat pergi ke kuttab
ialah anak perempuan hamba sahaya (jariah). Sedangkan bagi anak-anak perempuan
merdeka tidak diizinkan pergi ke kuttab
atau masjid untuk belajar ilmu pengetahuan.