Perspektif
Kebijakan Kriminal terhadap Cybercrime
Dalam rangka upaya penanggulangan
cybercrime, Resolusi Kongres PBB VIII
Tahun 1990 mengenai “Computer related crimes” mengajukan beberapa kebijakan
antara lain:
1.Menghimbau
negara anggota untuk mengintensifkan upaya-upaya penanggulangan penyalahgunaan
komputer yang lebih efektif dengan mempertimbangkan langkah-langkah sebagai
berikut:
a.Melakukan
modernisasi hukum pidana materiel dan hukum acara pidana;
b.Mengembangkan
tindakan-tindakan pencegahan dan pengamanan komputer;
c.Melakukan
langkah-langkah untuk membuat peka (sensitif) warga masyarakat, aparat
pengadilan dan aparat penegak hukum terhadap pentingnya pencegahan kejahatan
yang berhubungan dengan komputer (cybercrime);
d.Melakukan
upaya-upaya pelatihan (training) bagi para hakim, pejabat dan aparat penegak
hukum mengenai kejahatan ekonomi dan cybercrime;
e.Memperluas
“rules of ethics” dalam penggunaan komputer dan mengajarkannya melalui
kurikulum informatika;
f.Mengadopsi
kebijakan perlindungan korban cybercrime sesuai dengan deklarasi PBB mengenai
korban melaporkan adanya cybercrime;
2.Menghimbau
negara anggota meningkatkan kegiatan internasional dalam upaya penanggulangan
cybercrime;
3.Merekomendasikan
kepada Komite Pengendalian dan Pencegahan Kejahatan PBB untuk :
-Menyebarluaskan
pedoman dan standar untuk membantu negara anggota menghadapi cybercrime di
tingkat nasional, regional dan internasional;
-Mengembangkan
penelitian dan analisis lebih lanjut guna menemukan cara-cara baru menghadapi
problem cybercrime di masa yang akan datang;
-Mempertimbangkan
cybercrime sewaktu meninjau pengimplementasian perjanjian ekstradisi dan
bantuan kerjasama di bidang penanggulangan kejahatan (Barda 2002: 253-254).
Indonesia,
sebagai salah satu negara anggota PBB, sudah seharusnyalah memperhatikan dan
melaksanakan garis-garis kebijakan yang telah direkomendasikan tersebut. Upaya
pencegahan dan penanggulangan terhadap cybercrime dapat dilakukan dengan cara
melakukan kebijakan kriminalisasi terhadap perbuatan yang dapat dikategorikan
sebagai cybercrime.
Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan
suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana.
Pada hakikatnya, kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan
kriminal dengan menggunakan sarana hukum pidana, dan karena itu termasuk bagian
dari kebijakan hukum pidana (Barda 2001: 2-3).
Berkaitan dengan cybercrime, maka
pertama-tama yang harus ditentukan terlebih dahulu adalah pengaturannya. Ada
beberapa pilihan dalam mengatur masalah cybercrime (Wisnubroto 2000: 4-6):
a.Diatur
dalam Undang-undang khusus tentang Penyalahgunaan Komputer.
b.Diintegrasikan
ke dalam kodifikasi (KUHP) dengan cara menambah, menyisipkan atau
merubah/memperbaharui pasal-pasal dalam KUHP
c.Diatur
baik dalm kodifikasi (KUHP) maupun dalam Undang-undang Khusus.
Suatu pengaturan secara khusus diperlukan apabila cybercrime
dianggap sebagai kejahatan kategori baru (new category of crime) yang
membutuhkan suatu kerangka hukum yang baru dan komprehensif untuk mengatasi
sifat khusus tehnologi yang sedang berkembang dan tantangan baru yang tidak ada
pada kejahatan biasa, dan karena itu perlu diatur secara tersendiri di luar
KUHP. Sedangkan apabila menganggap cybercrime sebagai kejahatan biasa (ordinary
crime) yang dilakukan dengan komputer teknologi tinggi (high-tech) dan KUHP
dapat dipergunakan untuk menanggulanginya baik melalui amandemen KUHP maupun
perubahan KUHP secara menyeluruh (Reksodiputro 2002: 2-3).
Untuk menentukan pilihan tersebut maka secara konseptual harus
mempertimbangkan sistem hukum (pidana) Indonesia. Rene David pernah mengatakan
bahwa sistem hukum di Indonesia adalah mixed system of law (Barda 1994: 24).
Namun di bidang hukum publik khususnya hukum pidana tradisi hukum kontinental
nampak lebih menonjol dalam praktek dan pengembangan ilmu hukum. Oleh karena
itu pengembangan pengaturan mengenai masalah cybercrime lebih tepat apabila
menggunakan pendekatan integratif dengan pengaturan dalam KUHP baik melalui
amandemen maupun perubahan menyeluruh KUHP.
Suatu upaya kriminalisasi terhadap cybercrime perlu memperhatikan
hal-hal fundamental sebagai berikut: (Sudarto 1983: 44-48)
a.Tujuan
pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur secara
material dan spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka
penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan
penganugerahan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan
dan pengayoman masyarakat.
b.Perbuatan
yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus
merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, tidak disukai atau dibenci oleh
warga masyarakat yaitu perbuatan yang merugikan atau dapat merugikan, mendatangkan
korban atau dapat mendatangkan korban. Selain itu harus dapat pula
dipertimbangkan sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai
fundamental yang berlaku dalam masyarakat.
c.Perhitungan
prinsip biaya dan hasil (cost benefit principle) dari penggunaan hukum pidana
tersebut, yaitu apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang
akan dicaapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegak
hukum, serta beban yang dipikul oleh korban dan pelaku kejahatan itu sendiri
harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai.
d.Kapasitas
atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai
ada kelampauan beban tugas dan keseimbangan sarana-sarana yang digunakan dalam
hubungannya dengan hasil-hasil yang ingin dicapai.
Selain
kelima hal tersebut di atas perlu pula berpedoman pada 6 (enam) asas yang
dikemukakan De Roos, yaitu; (Reksodiputro 2002: 5)
a.masuk
akalnya kerugian yang digambarkan;
b.adanya
toleransi yang didasarkan pada kehormatan atas kebebasan dan tanggungjawab
individu;
c. apakah
kepentingan yang dilanggar masih dapat dilindungi dengan cara lain;
d. ada
keseimbangan antara kerugian, toleransi dan pidana yang diancamkan;
e. apakah
kita dapat merumuskan antara kerugian, toleransi dan pidana yang diancamkan;
f. kemungkinan
penegakannya secara praktis dan efektif (serta dampaknya pada prevensi umum).
Dengan demikian kriminalisasi dalam cybercrime setidaknya terdapat
tiga hal yang perlu dipertimbangkan dalam mengkriminalisasikan perbuatan
cybercrime, yaitu:
a. Hendaknya dipilih perbuatan-perbuatan
yang benar-benar merugikan dan dapat menimbulkan akses serius (prinsip selektif
dan limitatif) agar pengaturan perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan
cybercrime tidak bersifat overcriminalization sehingga justru akan berdampak
counterproductive bagi pengembangan teknologi komputer di bidang multimedia
atau TI yang sangat dibutuhkan oleh negara Indonesia daalam menghadapi era
globalisasi.
b. Hendaknya dipertimbangkan apakah biaya
yang harus dikeluarkan untuk menyusun ke
tentuan
yang mengatur delik komputer yang dikategorikan sebagai tindak pidana mayantara
yang bersifat rumit dan kompleks, biaya untuk mengawasi dan menegakkan
ketentuan tersebut yang memerlukan fasilitas atau sarana teknologi tinggi dan
beban yang harus dipikul korban akan berimbang dengan hasil yaitu situasi
tertib hukum di dunia cyber.
c. Hendaknya dipertimbangkan kapasitas
atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum di Indonesia yang
nantunya akan dibebani tugas untuk menegakkan ketentuan yang mengatur delik
komputer yang dikategorikan sebagai perbuatan cybercrime, sehingga tidak
terjadi beban tugas yang bersifat overbelasting sehingga banyak peraturan yang
dibuat ternyata dalam prakteknya di lapangan tidak dapat ditegakkan.
Upaya
kriminalisasi terhadap perbuatan cybercrime dilakukan dengan pendekatan
evolusioner dengan cara memperluas pengertian-pengertian yang terdapat dalam
Rancangan UUKUHP 1999/2000. Dikatakan evolusioner karena dari RUU KUHP yang ada
sebelumnya tidak memperluas pengertian-pengertian yang terkait
kegiatan-kegiatan di cyberspace. Menurut Barda (2002: 264-266), kebijakan yang
ditempuh sementara dalam Konsep 2000 yang berkaitan dengan kegiatan di
cyberspace adalah sebagai berikut:
1. Dalam Buku I (Ketentuan Umum) dibuat
ketentuan meengenai:
a. Pengertian “barang” (Pasal 174) yang di
dalamnya termasuk benda tidak berwujud berupa data dan program komputer, jasa
telepon atau telekomunikasi atau jasa komputer.
b. Pengertian “anak kunci” (Pasal 178)
yang di dalamnya termasuk kode rahasia, kunci masuk komputer, kartu magnetik,
sinyal yang telah diprogram untuk membuka sesuatu. Maksud dari anak kunci di
sini kemungkinan besar adalah password atau kode-kode tertentu seperti private
atau public key infrastructure.
c. Pengertian “surat” (Pasal 188) termasuk
data tertulis atau tersimpan dalam disket, pita magnetik, media penyimpanan
komputer atau penyimpanan data elektronik lannya.
d. Pengertian “ruang“ (Pasal 189) termasuk
bentangan atau terminal komputer yang dapat diakses dengan cara-cara tertentu.
Maksud ruang ini kemungkinan termasuk pula dunia maya atau mayantara atau
cyberspace atau virtual reality.
e. Pengertian “masuk” (Pasal 190) termasuk
mengakses komputer atau masuk ke dalam sistem komputer. Maksud masuk ini adalah
masuk ke dalam sistem jaringan informasi global yang disebut internet dan
kemudian baru masuk ke sebuah situs atau website yang di dalamnya berupa server
dan komputer yang termasuk dalam pengelolaan
situs.
f. Pengertian “jaringan telepon” (Pasal
191) termasuk jaringan komputer atau sistem komunikasi komputer
.
2. Dalam Buku II
Dengan
dibuatnya ketentuan seperti di atas, maka Konsep tidak atau belum membuat delik
khusus untuk cybercrime atau computer-related crime. Konsep juga mengubah
perumusan delik atau menambah delik-delik baru yang berkaitan dengan kemajuan
teknologi, dengan harapan dapat menjaring kasus-kasus cybercrime, antara lain:
a. Menyadap pembicaraan di ruang tertutup
dengan alat bantu teknis (Pasal 263).
b. Memasang alat bantu teknis untuk tujuan
mendengar atau merekam pembicaraan (Pasal 264).
c. Merekan (memiliki atau menyiarkan)
gambar dengan alat bantu teknis di ruang tidak untuk umum (Pasal 266).
d. Merusak atau membuat tidak dapat
dipakai bangunan untuk sarana atu prasarana pelayanan umum, seperti bangunan
telekomunikasi atau komunikasi lewat satelit atau komunikasi jarak jauh (Pasal
546).
e. Pencucian uang atau money laundering
(Pasal 641-642).
Selain
upaya kriminalisasi dengan pendekatan evolusioner, Indonesia juga melakukan
kriminalisasi dengan pendekatan global yaitu cybercrime diatur secara umum
dalam Rancangan Undang-undang Teknologi Informasi. Pasal-pasal mengenai
ketentuan pidana terdapat dalam Pasal 29 – 40 RUU Teknologi Informasi yaitu:
1. Pasal 29
Barangsiapa
yang melanggar ketentuan sebgaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), Pasal 18
ayat (2) dan Pasal 20 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun
dan/atau denda paling banyak Rp. 100 juta.
2. Pasal 30
Barangsiapa
dengan sengaja dan melawan hukum menggunakan nama domain yang bertentangan
dengan ketertiban umum, kesusilaan dan Hak Kekayaan Intelektual pihak lain
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak
Rp. 500 juta
3. Pasal 31
Barangsiapa
dengan sengaja dan melawan hukum mengakses data komputer atau program komputer
atau jaringan komputer dengan atau tanpa merusak sistem keamanan dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100
juta.
4. Pasal 32
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan melawan
hukum menahan atau mengintersepsi pengiriman data komputer dari atau ke dalam
sistem komputer atau jaringan komputer untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau denda
paling banyak Rp. 100 juta
(2) Barangsiapa dengan sengaja dan melawan
hukum mengintersepsi pengiriman data komputer sehingga menghambat komunikasi
dalam sistem komputer atau jaringan komputer atau sistem komunikasi dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500
juta.
5. Pasal 33
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan melawan
hukum mengubah, menghapus atau merusak data komputer atau program komputer atau
data elektronik lainnya dipidana dengan pidana pejara paling lama 1 tahun
dan/atau denda paling banyak Rp. 100 juta.
(2) Barangsiapa dengan sengaja dan melawan
hukum memasukkan, mengubah, menambah atau menghapus data komputer atau data
elektronik lainnya yang mengakibatkan terganggunya fungsi sistem komputer
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak
Rp. 500 juta.
6. Pasal 34
Barangsiapa
dengan sengaja dan melawan hukum menggunakan, mengubah, menambah atau menghapus
data komputer atau sistem komputer atau jaringan komputer yang mengakibatkan
timbulnya kerugian ekonomis bgi pihak lain dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500 juta.
7. Pasal 35
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan melawan
hukum memproduksi, menjual, mengimpor atau mendistribusi-kan peralatan sistem
komputer termasuk program komputer, sandi akses, kode akses komputer atau data
sejenis untuk melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 30 dan
Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 500 juta.
8. Pasal 36
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan melawan
hukum membuat, menyediakan atau mengirimkan, mendistribusikan data atau tulisan
atau gambar atau rekaman yang isinya melanggar kesusilaan dengan menggunakan
sistem komputer atau jaringan komputer dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200 juta.
9. Pasal 37
Barangsiapa
dengan sengaja dan melawan hukum menggunakan sistem komputer atau jaringan
komputer mengirimkan data atau tulisan atau
gambar atau rekaman yang isinya mengancam orang lain sehingga mengakibatkan
terganggunya ketenteraman orang tersebut
dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 900 juta
10. Pasal 38
Barangsiapa
dengan sengaja dan melawan hukum menggunakan sistem komputer atau jaringan
komputer mengirimkan data atau tulisan atau gambar atau rekaman yang isinya
menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dipidana dengaan pidana penjara
palig lama 1 tahu dan/atau denda paling banyak Rp. 100 juta.
11. Pasal 39
(1) Barangsiapa dengan maksud menguntungkan
diri sendiri atau orang lain dan melawan hukum membuat, menyediakan atau
mengirimkan data atau tulisan atau gambar atau rekaman yang bertentangan dengan
kewajibannya selaku produsen dalam transaksi perdagangan melalui jaringan
komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda
paling banyak Rp. 500 juta.
(2) Barngsiapa dengan maksud menguntungkan
diri sediri atau orang lain dan melawan hukum menggunakan identitas palsu atau
data yang bukan miliknya dalam transaksi perdagangan melalui internet atau
jaringan komputer agar orang lain menyerahkan barang sesuatu kepadanya dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500
juta
Ketentuan
pidana yang terdapat dalam RUU Teknologi Informasi adalah upaya penanggulangan
kejahatan di dunia cyber dengan menggunakan Kebijakan Kriminal melalui sarana
penal. Meskipun sarana penal (hukum pidana) digunakan sebagai ultimum remedium,
akan tetapi harus tetap disadari bahwa hukum pidana mempunyai keterbatasan
kemampuan dalam menanggulangi kejahatan. Oleh karena itu, agar penanggulangan
cybercrime ini dapat dilakukan secara menyeluruh maka tidak hanya pendekatan
yuridis (penal) yang dilakukan, tetapi dapat juga dilakukan dengan pendekatan
non penal.
Dalam
konteks cybercrime ini erat hubungannya dengan teknologi, khususnya teknologi
komputer dan telekomunikasi sehingga pencegahan cybercrime dapat digunakan
melalui saluran teknologi. Pendekatan teknologi ini merupakan sub sistem dari
sebuah sistem yang besar, yaitu pendekatan budaya, karena teknologi merupakan
hasil dari kebudayaan atau kebudayaan itu sendiri. Pendekatan budaya ini perlu
dilakukan karena untuk membangun dan membangkitkan kepekaan warga masyarakat
dan aparat penegak hukum terhadap masalah cybercrime dan menyebar- luaskan atau
mengajarkan etika penggunaan komputer melalui media pendidikan.
Kesimpulan
Cybercrime merupakan salah satu
bentuk kejahatan bertehnologi. Dia hadir karena lahirnya tehnologi informasi
dan ia akan tetap ada bersama dengan keberadaan tehnologi informasi/internet.
Bentuk-bentuk cybercrime terus berkembang seiring dengan perkembangan internet
dan pemanfaatannya. Mengingat internet ini sudah dipakai oleh manusia dalam
hampir semua kegiatan, maka upaya pencgahan dan penanggulangan cybercrime ini merupakan faktor yang tidak dapat
ditunda-tunda. Kebijakan kriminal harus dilakukan dalam upaya pencegahan dan
penanggulangan cybercrime. Hal tersebut dapat dilakukan melalui pendekatan penal (dengan melalui kriminalisasi
perbuatan-perbuatan yang dapat dijadikan sebagai perbuatan cybercrime serta
sanksi pidananya), dan juga dapat dilakukan dengan pendekatan non penal, yang
dalam hal ini melalui pendekatan budaya.
Daftar
Pustaka
Agus
Raharjo, 2002, Cybercrime, Citra Aditya, Bandung
Ahmad
M. Ramli, 2004,Cyber Law dan HAKI, Refika Aditama, Bandung
Al
Wisnubroto, 6 Juli 2000, Cybercrime Permasalahan dan Penanggulangan dari Aspek
Hukum Pidana, Diskusi Bagian Kepidanaan FH UMY.
Barda
Nawawi Arief, 2002, Perbandingan Hukum Pidana, Raja Grafindo, Jakarta.
Marjono
Reksodiputro, 13 –19 Januari 2002, Cyber Crime: Intelectual Property Rights,
E-Commerce, Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia di FH
Universitas Surabaya.
Nazura
Abdul Manaf, 24 Februari 2001,.Cybercrime: Problems and Solutions Under
Malaysian Law. Makalah pada Seminar Money Laundering dan Cybercrime dalam
Perspektif Penegakan Hukum di Indonesia, diselenggarakan oleh Lab. Hukum Pidana
FH Universitas Surabaya.
Neill
Barret, 1997, Digital Crime, Policing the Cybernation, Kogan Page Ltd, London.
Sudarto,
1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar