Berbagai upaya telah dan terus diupayakan pemerintah untuk mewujudkan pendidikan yang layak bagi seluruh masyarakat Indonesia melalui usaha pembangunan dibidang pendidikan yaitu dengan menaikkan anggaran pendidikan, mengembangkan dan memperbaiki kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya. Akan tetapi upaya tersebut pada kenyataannya, sampai saat ini belum cukup untuk meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan bagi masyarakat luas sehingga membawa akibat pada rendahnya mutu pendidikan. Sebagaimana diberitakan oleh banyak media, mutu pendidikan di Indonesia benar-benar memprihatinkan.
Dari laporan United Nation Development Pro- gram (UNDP), angka human developmen indeks (HDI) Indonesia pada tahun 2004 menduduki peringkat 111 dari 175 negara, lebih rendah dari tahun tahun sebelumnya. Dan yang lebih memprihatinkan, menurut laporan tersebut, kualitas SDM Indonesia benar-benar jauh lebih lebih rendah dari Singapura (25), Brunei (33), Malaysia (58), Thailand (76), dan Filipina (83). (UNDP, 2004)Umaedi (1999), Direktur Pendidikan Menengah Umum memberikan analisis bahwa ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil.
Pertama strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented yaitu strategi yang mementingkan factor-faktor eksternal dari subtansi pendidikan, seperti penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya. Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented yang diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa komleksitasnya cakupan permasalahan pendidikan, seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat.
Salah satu akibat dari pola pengelolaan pendidikan tersebut yaitu munculnya gejala lulusan SLTP dan SLTA banyak yang menjadi pengangguran di pedesaan, karena sulitnya mendapatkan pekerjaan. Sementara itu, mereka merasa malu jika harus membantu orangtuanya sebagai petani atau pedagang. Gejala ini muncul karena pembelajaran di sekolah cenderung sangat teoretik dan tidak terkait dengan lingkungan di mana anak berada. Akibatnya peserta didik tidak mampu menerapkan apa yang dipelajari di sekolah guna memecahkan masalah kehidupan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan seakan mencabut peserta didik dari lingkungannya sehingga menjadi asing di masyarakatnya sendiri. Bagi kalangan kaya, persolana rendahnya mutu pendidikan yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat mungkin tidak begitu menjadi persoalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar