Minggu, 10 Januari 2016

CARA PENINGKATAN MUTU PENDIDIDIKAN BERBASIS MASYARAKAT



MENINGKATAN MUTU PENDIDIDIKAN BERBASIS MASYARAKAT< /span>


 Selama ini kebutuhan belajar selalu diidentikan dengan bersekolah. Sebuah stigma yang sudah mengakar pada pikiran masyarakat. Sekolah dipandang oleh sebagian besar masyarakat sebagai satu-satunya lembaga yang sah untuk memberikan pelayanan pendidikan yang layak. Akibatnya, masyarakat menjadi sangat tergantung terhadap sekolah, yang pada akhirnya membawa perubahan pada orientasi sekolah sebagai lembaga pendidikan menjadi sebuah lembaga bisnis. 

 Sebagai kosekuensi dari lembaga bisnis, sekolah berlomba-lomba menarik konsumen dengan memberikan pelayanan yang terbaik dalam bentuk fasilitas, sarana belajar, dan manajemen pengelolaan yang memanjakan konsumen. Tujuannya tidak lain yaitu memberikan kepuasan pelayanan pada pelanggan, yaitu orang-orang yang mampu membeli jasa lebih. Akibat lebih jauh dari sistem pendidikan ini, pembiayaan pendidikan menjadi semakin mahal. Kecenderungan mahalnya biaya pendidikan ini tidak hanya terjadi di sekolah-sekolah swasta, sekolah negeri pun secara terselubung tidak jauh berbeda meski praktek bisnisnya tidak jelas terlihat. 


Dengan mahalnya biaya pendidikan adalah persoalan yang harus ditanggung bersama oleh masyarakat. Telebih ketika jumlah angka kemiskinan masih tetap tinggi yang mengakibatkan negara semakin terbebani dengan penyediaan dana subsidi pendidikan. Jika saat ini jumlah penduduk miskin masih tinggi maka biaya subsidi pendidikan yang dikeluarkan oleh negara tidak akan pernah dapat memenuhi keinginan seluruh masyarakat. Sehingga secara otomatis tidak semua masyarakat dapat menjangkau kebutuhan pendidikan secara layak. Berbagai upaya telah dan terus diupayakan pemerintah untuk mewujudkan pendidikan yang layak bagi seluruh masyarakat Indonesia melalui usaha pembangunan dibidang pendidikan yaitu dengan menaikkan anggaran pendidikan, mengembangkan dan memperbaiki kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya. Akan tetapi upaya tersebut pada kenyataannya, sampai saat ini belum cukup untuk meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan bagi masyarakat luas sehingga membawa akibat pada rendahnya mutu pendidikan. Sebagaimana diberitakan oleh banyak media, mutu pendidikan di Indonesia benar-benar memprihatinkan. 

Dari laporan United Nation Development Pro- gram (UNDP), angka human developmen indeks (HDI) Indonesia pada tahun 2004 menduduki peringkat 111 dari 175 negara, lebih rendah dari tahun tahun sebelumnya. Dan yang lebih memprihatinkan, menurut laporan tersebut, kualitas SDM Indonesia benar-benar jauh lebih lebih rendah dari Singapura (25), Brunei (33), Malaysia (58), Thailand (76), dan Filipina (83). (UNDP, 2004)Umaedi (1999), Direktur Pendidikan Menengah Umum memberikan analisis bahwa ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil. Pertama strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented yaitu strategi yang mementingkan factor-faktor eksternal dari subtansi pendidikan, seperti penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya.

 Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented yang diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa komleksitasnya cakupan permasalahan pendidikan, seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat.Salah satu akibat dari pola pengelolaan pendidikan tersebut yaitu munculnya gejala lulusan SLTP dan SLTA banyak yang menjadi pengangguran di pedesaan, karena sulitnya mendapatkan pekerjaan. Sementara itu, mereka merasa malu jika harus membantu orangtuanya sebagai petani atau pedagang. Gejala ini muncul karena pembelajaran di sekolah cenderung sangat teoretik dan tidak terkait dengan lingkungan di mana anak berada. Akibatnya peserta didik tidak mampu menerapkan apa yang dipelajari di sekolah guna memecahkan masalah kehidupan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan seakan mencabut peserta didik dari lingkungannya sehingga menjadi asing di masyarakatnya sendiri. Bagi kalangan kaya, persolana rendahnya mutu pendidikan yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat mungkin tidak begitu menjadi persoalan. 

Dengan kecukupan dana, mereka dapat memilih untuk menyekolahkan anak-anak mereka pada sekolah elite yang berkualitas dengan sarana-prasanana belajar cukup memadai. Akan tetapi untuk kalangan miskin dengan minimnya penghasilan, uluran tangan pemerintah melalui menyediakan pelayanan pendidikan murah dan berkualitas adalah satu-satunya harapan untuk kelangsungan pendidikan anak mereka. Memang, saat ini sumbangan pembiayaan pendidikan (SPP) secara resmi telah dihapuskan oleh pemerintah tetapi pada kenyataannya masyarakat masih dihadapkan pada banyak persoalan menyangkut pembiayaan pendidikan diluar kebutuhan SPP. Pengeluaran lain diluar kebutuhan SPP seperti pembelian buku, alat tulis, seragam sekolah, uang transport, dan uang saku menjadi faktor penghambat juga bagi masyarakat miskin untuk menyekolahkan anaknya. Sehingga masih banyak anak-anak usia sekolah yang belum sepenuhnya dapat mengakses bangku pendidikan

Dari hasil data SUSENAS 2003 menunjukkan faktor ekonomi merupakan faktor terbesar penyebab tingginya angka putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan. (75,7%) baik oleh karena tidak tersedianya dana (67,0%) atau karena terpaksa harus bekerja (8,7%). Dampaknya, terjadi kesejangan yang begitu lebar antara masyarakat miskin dengan masyarakat kaya dalam kesempatan untuk memperoleh kesempatan askses pendidikan. (PP 7 Tahun 2005) Sebagaimana telah diamanatkan Undang-undang bahwa tiap penduduk berhak mendapatkan pendidikan yang layak, peningkatan kualitas dan akses pendidikan bagi masayarakt miskin membutuhkan pemikiran dan solusi nyata. Sejalan dengan perubahan paradikma pendidikan kearah desentralisasi, maka keterlibatan masyarakat mulak diperlukan. Pembangunan sektor pendidikan tidak semata-mata hanya menjadi tangungjawab pemerintah, akan tetapi masyarakat juga memiliki tangungjawab untuk membantu terwujudnya pembangunan pendidikan yang berkualitas. 

Pemikiran untuk mewujudkan pendidikan berbasis masyarakat adalah sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah yang salah satu tujuannya yaitu untuk mempercepat kesejahteraan masyarakat melalui pemberdayaan dan meningkatkan peran serta masyarakat, maka pelaksanaan pendidikan juga diharapkan senatiasa melihat dan memperhatikan kepentingan aspirasi masyarakat. (UU No. 32 Tahun 2004) Oleh karena itu, penentuan kualitas pelayanan pendidikan sebagai upaya meningkatkan mu- tu tidak dapat dilakukan secara sepihak oleh pemerintah pusat. B. Menyoal Mutu PendidikanEdward Sallis dalam bukunya Total Quality Management in Education berpendapat bahwa mutu tidak hanya mengandung pengertian absolut sebagaimana banyak diterapkan oleh lembaga pendidikan sekarang. Mutu memiliki pengertian relatif yang dapat dijabarkan dalam dua aspek, yaitu : Pertama adalah mutu yang menyesuaikan diri dengan spsifikasi yang telah dibuat oleh produsen (quality in fact). Kedua adalah mutu yang berupaya untuk senantiasa memenuhi keinginan konsumen/pelanggan (quality in perseption). (Sallis, 2006 : 55-56)

Dalam konteks pendidikan, penjelasan tentang kualitas dengan menggunakan mutu berdasarkan pendekatan quality in fact dapat dilakukan dengan mengukur kualitas siswa siswa di berdasarkan tingkat kemampuan kelulusan disesuaikan dengan tujuan yang ditetapkan sekolah berdasarkan kurikulum. Mutu pendidikan dinilai berdasar pada standar proses dan pelayanan yang disesuaikan dengan rencana kurikulum sekolah. Kemudian untuk pendekatan quality in perseption kualitas pelayanan pendidikan diukur dari kemampuan kompetensi berdasarkan keinginan pelanggan yaitu kepuasan orang tua siswa, masyarakat lingkungan sekolah.

 Mutu pendidikan diasumsikan sebagai pemenuhan selera kebutuan dari stakeholder dengan sebaik-baiknya. Jika stakeholder merasa puas dengan pelayanan yang diberikan sekolah, maka proses pembelajaran dalam rangka mendidik siswa dapat dikatakan bermutu. Tentunya, keinginan pelanggan adalah keinginan yang senantiasa berubah sesuai dengan tuntutan perubahan zaman.Oleh Sebagai sebuah konsep yang relatif maka mutu merupakan ide yang dinamis. Mutu dapat dikatakan ada apabila memenuhi spesifikasi sekaligus mendapat pengakuan dari konsumen/pelanggan. Pendidikan dalam konteks ini tidak harus mahal, akan tetapi lebih menekankan kesesuaian dengan tujuan yang diharapkan.

 Oleh karena itu, menurut Sallis bahwa untuk menentukan standart mutu pendidikan adalah satu hal yang sangat sulit karena keragaman dan kompleksitas peserta didik. Bahkan untuk menghasilkan pelajar dengan standart jaminan tertentu adalah suatu hal yang mustahil dapat diwujudkan. Dengan tidak adanya standar baku tentang mutu pendidikan secara ideal maka pengakuan pelangan terhadap aktifitas pembelajaran di sekolah menjadi sangat penting. Oleh karena itu strategi pembelajaran menjadi sangat penting sebagai tolok ukur pendidikan bermutu diluar pengakuan masyarakat. Menurut Sallis, strategi pembelajaran yang memperhatikan peserta didik sebagai individu yang memiliki keunikan sangat diperlukan. 

Karena, prinsip manajeman mutu secara total harus memperhatikan secara serius tentang gaya dan kebutuhan pembelajaran untuk menciptakan strategi individualisasi dan diferensi dalam pembelajaran. Ditegaskan oleh Sallis bahwa intitusi sekolah yang tidak memenuhi kebutuhan model pembelajaran secara individu maka institusi pendidikan tidak dapat mengklain bahwa ia telah menjalankan prinsip mutu apalagi mutu terpadu. (Sallis 2006 : 62-86)Terkait dengan persoalan mutu pendidikan Ace Suryadi juga berpendapat serupa yaitu bahwa : mutu pendidikan hanya akan terwujud jika proses pendidikan di sekolah benar-benar menjadikan siswa mampu belajar dan belajar sebanyak mungkin. 

Mutu pendidikan harus dilihat dari meningkatnya kemampuan belajar siswa secara mandiri, bukan dari informasi pengetahuan yang disampaikan oleh guru. Pengetahuan apa pun yang mereka kuasai adalah hasil belajar yang mereka lakukan sendiri. Selain itu, perbaikan mutu pendidikan itu sesungguhnya terjadi didalam kelas. Mutu pendidikan adalah persoalan mikro di sekolah, bahkan perorangan. Mutu hanya terwujud jika proses pendidikan di sekolah benar-benar menjadikan siswa mampu belajar dan belajar sebanyak mungkin. Mutu pendidikan harus dilihat dari meningkatnya kemampuan belajar siswa secara mandiri. Tidak karena paksaan oleh guru atau orang tua. Pengetahuan apa pun yang mereka kuasai adalah hasil belajar yang mereka lakukan sendiri. (Suryadi : 2001)Disamping itu, usaha peningkatan mutu pendidikan juga terkait erat dengan usaha pemberdayaan sekolah, guru, dan masyarakat dalam mendukung pendidikan. Peningkatan mutu pendidikan tidak bisa dilakukan hanya dengan memperbaiki kurikulum, menambah buku pelajaran, dan menyediakan laboratorium di sekolah. Dengan kurikulum yang terstruktur secara ketat serta langsung dikendalikan dari pusat hanya akan membuat guru menyisir pokok bahasan satu per satu, yang disampaikan melalui ceramah. Kecenderungan untuk mengejar target kurikulum menjadikan siswa hanya berorientasi pada nilai (angka hasil belajar).Karena mutu pendidikan bersifat mikro, pihak yang paling berperan adalah guru di sekolah. Guru paling mengetahui kemampuan anak orang-perorang dan cara mengajar mana yang paling baik bagi mereka. Guru juga bisa meneliti dan mengkaji, misalnya, semangat belajar anak menurun, tidak bergairah, prestasinya menurun, dan bagaimana membantu mereka belajar. Berdasarkan pengalaman, guru bisa berinovasi, pendekatan mengajar yang mana untuk materi yang mana agar dapat membelajarkan siswa secara berhasil. Proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru, perlu dukungan dari kepala sekolah. Peran kepala sekolah adalah mengelola sumber-sumber daya pendidikan seperti buku, perpustakaan, biaya operasional, bantuan teknis, mengelola diskusi antarguru-agar dapat mendukung proses belajar siswa.

Pemerintah (pusat dan daerah) berperan dalam menetapkan standar minimal kemampuan siswa serta ukuran keberhasilannya, sebagai sasaran bagi guru untuk mencapainya, serta dasar akuntabilitas guru dan kepala sekolah terhadap masyarakat. Standar kemampuan siswa, standar sarana, dan standar prasarana belajar perlu ditetapkan pemerintah untuk menjamin tidak ada sekolah yang beroperasi di bawah standar minimum.

 Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis MasyarakatSejalan dengan diberlakukannnya Undang-undang Otonomi Daerah yang salah satu tujuannya yaitu untuk mempercepat kesejahteraan masyarakat melalui pemberdayaan dan meningkatkan peran serta masyarakat, maka pelaksanaan pendidikan juga diharapkan senatiasa melihat dan memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat. Penentuan kualitas pelayanan pendidikan sebagai upaya meningkatkan mutu tidak dapat dilakukan dengan sertamerta dan sepihak oleh pemerintah pusat. Sudarman Danim memberikan pendapat dalam hal ini yaitu bahwa pendidikan dengan basis masyarakat merupakan salah satu solusi alternatif untuk memecahkan problem pendidikan. Keterpurukan cara-cara lama dalam mengelola pendidikan yang lebih sentralistik mendorong perubahan cara pandang kearah sebaliknya, yaitu pemberian otonomi sekolah-masyarakat untuk mengelola pendidikan dengan memperhatian aspirasi serta kondisi yang terjadi di masyarakat. (Danim , 2006 4-5)

Sebagai implikasinya maka, perencanaan, pengembangan, dan pelaksanaan pendidikan merupakan hasil kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat. Pelaksanakan pendidikan tidak dapat diberlangsungkan secara ekslusif, jauh dari realitas kebutuhan riil masyarakat. Sesuai dengan prinsip desentralisasi maka pelaksanaan pendidikan dalam rangka menunjang peningkatan mutu pendidikan harus dikembangankan berdasarkan prinsip otonomi yaitu mengembalikan eksis- tensi sekolah pada akar rumputnya.Sejalan dengan pemikiran diatas, maka Pendidikan yang benar adalah pendidikan yang hidup dari dan untuk masyarakat. Pendidikan yang berdasar pada masyarakat merupakan bentuk pendidikan yang sebenarnya. Pendidikan akan menjadi terasing dari konteks tujuannya apabila partisipasi masyarakat diabaikan, karena pendidikan tidak mampu menjawab kebutuhan dan kebudayaan yang nyata. Pendidikan yang terlepas dari masyarakat dan budaya yang ada didalamnya adalah pendidikan yang tidak memiliki akuntabilitas. Pendidikan berbasis masyarakat dan manajemen pendidikan berbasis sekolah adalah wujud nyata dari demokratisasi dan desentralisai pendidikan. (Tilaar 2000 : 105)Istilah pendidikan berbasis masyarakat pada awalnya di perkenalkan oleh Comton and Mc Clusky dengan menggunakan istilah “comunity education for development” yang diartikan sebagai sebuah proses dimana setiap anggota masyarakat hadir untuk mengemu- kakan setiap persoalaan dan kebutuhan, mencari solusi diantara mereka, menge- rahkan sumberdaya yang tersedia, dan melaksanakan suatau rencana kegiatan atau pembelajaran atau keduanya. Sementara itu, Michael W. Galbraith mendefinisikan pendidikan berbasis masyarakat sebagai (community-basic education) yaitu proses pendidikan dimana individu-individu (dalam hal ini orang dewasa) menjadi lebih berkompeten da- lam ketrampilan, sikap, dan konsep-konsep mereka dalam mencapai kehidupan melalui usaha yang lebih, dalam mengontrol aspek-aspek lokal masyarakat mereka melalui keterlibatan secara demokratis. (Galbraith 1995)Konsep pendidikan berbasis masyarakat atau juga disebut (community based aducation) secara jelas diperkenalkan juga di Indonesia melalui Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional BAB XV bagian dua pasal 55. Dalam Undang-undang tersbut, pendidikan berbasis masyarakat di definisikan sebagai bentuk penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh dan untuk masyarakat. 

Oleh karena itu, pendidikan berbasis masyarakat memiliki tujuan utama untuk melayani kekhasan kebutuhan masyarakat secara menyeluruh dengan mengunakan sumber daya yang tersedia secara mandiri. Pendidikan berbasis masyarakat memiliki asumsi bahwa setiap komponen dari masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan untuk memecahkan problem sosial masarakat dengan memobili- sasi aksi bersama. Masyarakat dalam konteks pendidikan berbasis adalah agent, tujuan sekaligus fasilitator dalam proses pendidikan.Formulasikan konsep pendididikan berbasis masyarakat bertumpu pada tiga pilar utama yaitu “dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat”. Pendidikan dari masyarakat artinya pendidikan merupakan jawaban dari apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Pendidikan oleh masyarakat artinya masyarakat merupakan pelaku atau subjek pendidikan yang aktif, bukan hanya sekedar sebagai objek pendidikan sehingga masyarakat betul-betul memiliki, bertangungjawab dan peduli terhadap pendidikan. (Zubaedi 2005)Secara lebih lengkap dari tiga pilar utama penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat, Galbraith memberikan uraian secara lebih luas tentang prinsip pendidikan berbasis masyarakat sebagai berikut ;

:1. Self determination (menentukan sendiri)Setiap anggota masyarakat memiliki hak dan tangungjawab untuk terlibat dalam menentukan kebutuhan masyarakat dan mengenali sumberdaya masyarakat yang dapat dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan.2. Self help (menolong diri sendiri)Anggota masyarakat dilayani dengan baik ketika kemampuan mereka un- tuk menolong diri mereka sendiri telah didorong dan dikembangkan. Mereka menjadi bagian dari solusi dan membangun kemandirian lebih baik dari pada menggantungkan diri, karena mereka beranggapan bahwa kesejahtraan adalah tanggungjawab jawab mereka sendiri.3. Leadership development (pengembangan kepemimpinan)Pemimpin lokal harus mendapat pelatihan keahlian seperti pemecahan masalah, pengambilan keputusan, dan memandirikan kelompok untuk mengem- bangkan masyarakat secara berkesinambungan.4. Localization (lokalitas)Potensi terbesar untuk meningkatkan partisipasi masyarakat terjadi ketika masyarakat diberi kesempatan dalam pelayanan, program dan kesem- patan untuk terlibat dalam kehidupan ditempat tinggal.5. Integrated delivery of service (keterpaduan pemberian pelayanan) Setiap organisasi/agen yang ada dalam masyarakat secara bersama-sama melayani masyarakat untuk mencapai tujuan yang diinginkan.6. Reduce duplication of service (mengurangi duplikasi jasa)Masyarakat perlu mengkoordinasikan secara menyeluruh segala ben- tuk pelayanan, keuangan, dan sumber daya manusia untuk menghidari dupli- kasi jasa.7. Accept diversity (menerima keanekaragaman)Menghindari pemisahan atau pengasingan orang-orang disebabkan oleh perbedaan usia, pendapatan, kelas sosial, jenis kelamin, ras, etnik, agama, yang menyebabkan terhalangnya pengembangan masyarakat secara optimal. Termasuk perwakilan warga masyarakat seluas mungkin terlibat dalam pe- ngembangan, perencanaan, dan pelaksanaan program pelayanan dan aktifitas-aktifitas kemasyarakatan lainnya.8. Institusional responsiveness (tanggungjawab kelembagaan)Pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berubah secara terus menerus adalah sebuah kewajiban dari lembaga publik, karena mereka ada untuk melayani orang banyak (masyarakat). 9. Lifelong learning (pembelajaran seumur hidup)Peluang untuk belajar secara informal dan formal harus tersedia untuk setiap anggota masyarakat dari berbagai jenis latar belakang. (Galbraith 1995)Implementasi pendidikan berbasis masyarakat diharapkan setiap anggota masyarakat dapat belajar bersama dengan memanfaatkan segala potensi yang ada. Para guru, dewan pendidikan, pengelola dan pelajar adalah semua anggota masyarakat dari semua generasi. Para guru tidaklah harus dari guru sekolah, akan tetapi mereka yang memiliki pengalaman atau keahlian dapat dijadikan sebagai guru. 
Guru bertindak sebagai pemimpin yang mengambil peran dalam mencarikan jalan para siswa untuk mencapai pengetahuannya secara terbuka dan memberikan kebebasan untuk mengkaji dengan cara pandang yang berbeda. (Earth Systems Science 2005)Dengan pendidikan yang berbasis pada masyarakat dapat dimungkinkan hubungan antara guru dengan siswa berada dalam posisi sejajar sebagai subjek pendidikan. Jika selama ini siswa dalam proses pembelajaran umumnya berada dalam dominasi guru, maka dalam konteks pendidikan berbasis masyarakat siswa adalah pelaku utama dalam mengembangkan, mencari pengetahuan yang ia butuhkan. Guru adalah fasilitator sejati sebagai teman diskusi yang memberikan arah siswa dalam menggapai pengetahuan dan cita-citanya secara mandiri.Dengan prinsip lokalitas, model pendidikan yang dikelola melalui keterlibatan langsung masyarakat terjadi efektifitas dan efisiensi dalam pelaksanaan pembelajaran disekolah sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Sekolah dapat menggali potensi lokal untuk mengembangkan pendidikan berorientasi kemandirian masyarakat dalam menyediakan sarana pendidikan. Masyarakat dapat menentukan sendiri kualitas kebutuhannya (materi pembelajaran yang relevan dengan kebutuhan), melakukan penilaian dan pengawasan untuk mencapai tingkat kelulusan yang diharapkan menutur kebutuhan riil lingkunganya. Dengan perdidikan berbasis masyarakat, mahalnya biaya pendidikan dapat ditekan melalui kerjasama antar masyarakat dalam memanfaatkan potensi sumberdaya yang tersedia dalam komunitas. Sarana dan prasarana sekolah misalnya, dapat menfungsikan apa yang ada di masyarakat seperti rumah penduduk, masjid, lapangan desa, balai kelurahan, lahan pertanian dan lingkungan alam lainnya. 

Hubungan timbal balik ini termasuk pula pemanfaatan sumberdaya manusianya sebagai fasilitator pembelajaran (guru), pengelola, atau tenaga administrasi sekolah.Oleh karena itu, pendidikan berbasis masyarakat hanya akan bisa terwujud jika dalam hati orang-orang telah tumbuh kesadaran untuk mandiri, hidup dalam kebersamaan untuk saling membantu. Potensi yang ada pada setiap individu adalah bagian dari potensi yang dimiliki oleh masyarakat dibagi dalam kebersamaan hidup untuk meningkatkan kualitas kehidupan yang lebih baik. 

Keyakinan pada potensi yang dimiliki pada setiap individu adalah modal untuk membangun pendidikan yang dikelola secara bersama dalam basis masyarakat. Lebih jauh dari itu, dengan basis masyarakat, pendidikan akan dengan sendirinya berlangung sepanjang hayat. Masyarakat akan senanntiasa turus belajar meningkatkan kualitas hidup dari diri dan lingkungannya untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan perubahan zaman. Masyarakat miskin akan secara alami dapat berlajar dari lingkungannya, mengatasi dan memanfaatkan potensi yang ada dengan didukung oleh komunitas yang melingkupinya.Demokratisasi penyelenggaraan pendidikan, harus mendorong pemberdayaan masyarakat dengan memperluas partisipasi masyarakat dalam pendidikan yang meli- puti peran serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidi- kan (pasal 54 ayat 1). Masyarakat tersebut dapat berperanan sebagai sumber, pelak- sana, dan pengguna hasil pendidikan (pasal 54 ayat 2). (UU Sisdiknas 2003)Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pendidikan berbasis masya rakat memiliki prinsip dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Oleh karena itu masyarakat juga perlu diberdayakan, diberi peluang dan kebebasan untuk mendesain, merencanakan, membiayai, mengelola dan menilai sendiri apa yang diperlukan secara spesifik apa yang telah dilakukan masyarakat terhadap pendidi- kannya. (Zubaedi 2005 : 132

)Disamping itu, masyarakat sendiri juga merupakan lembaga pendidikan ke- tiga setelah pendidikan dilingkungan keluarga dan pendidikan dilingkungan sekolah. Melalui pendidikan kemasyarakatan inilah pendidikan akan berlangsung sepanjang hayat, tidak pernah berakhir. Segala pengetahuan yang diperoleh dapam pendidikan sekolah maupun keluarga akan dikembangkan dan dirasakan manfaatnya dalam kehi dupan bermasyarakat. (Ihsan 2003 : 58)Dengan peran serta aktif masyarakat diharapkan makin berperan dalam mem berikan pengawasan mutu kelulusan, dan mendorong munculnya upaya penggalian dana secara lokal dari masyarakat. (Danim 2006 : 7-8) Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan dapat pula diwujudkan dengan menciptakan suasana yang dapat menunjang pelaksanaan pendidikan nasional, ikut menyelenggarakan pendidikan non pemerintah (swasta), membantu pengadaan tenaga, biaya dan sarana prasarana, penyediaan lapangan kerja, membantu pengembangan profesi baik langung maupun tidak langsung. (Ihsan 2003 : 59)Demikian pula sebaliknya, lembaga sekolah dalam menjalankan tugas dan fungsinya juga tidak bisa lepas dari konteks masyarakat sebagai konsekwensi pendi- dikan yang ideal. Jika pendidikan dimaksudkan untuk masyarakat maka sebagai konsekuensinya lembaga sekolah berkepentingan untuk menjalankan hubungan fungsional sebagai berikut :a. Menyesuikan kurikulum sekolah dengan kebutuhan masyarakat.b. Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran mampu merangsang siswa untuk lebih mengenal kehidupan riil dimasyarakat.c. Proses pembelajaran berhasil menumbuhkan sikap siswa untuk belajar dan berkerja dalam kehidupan nyata.d. Sekolah selalu berintegrasi dengan kehidupan masyarakat sehingga kebutuhan kedua belah pihak terpenuhi.e. Sekolah dapat mengembangkan masyarakat dengan cara mengadakan pembaharuan tata kehidupan masyarakat. (Ihsan 2003 : 97-98) E. Kesimpulan Pendidikan berbasis masyarakat membutuhkan kemandirina kesadaran dari setiap individu untuk memahami kondisi realitas sosial-ekomomi yang dialami. Dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat dituntut untuk dapat mewujudkan pendidikan mampu menjawab kebutuhannya. . Pendidikan berbasis masyarakat mengharuskan pelaksanaan pendidikan tidak jauh dari realitas yang dialami oleh masyarakat, sehingga program pendidikan disusun berdasarkan kondisi dan kebutuhan riil dimasyarakat mulai dari tingkat perencanaan hingga evaluasi. Keterlibatan masyarakat mutlak diperlukan untuk menampung aspirasi yang menjadi kebutuhan dalam menyusun tujuan pendidikan yang diinginkan.

Pendidikan berbasis masyarakat merupakan solusi alternatif untuk memecahkan problem pendidikan yang dibelenggu dalam bingkai birokrasi. Pendidikan dengan basis masyarakat memungkinkan siswa memiliki kebebasan untuk berkembangan diri sesuai dengan konteks lingkungan dan tidak menjadi asing di masyarakatnya sendiri. Oleh karena itu, inti sari dari pendidikan berbasis masyarakat adalah proses kesadaran dari hubungan sosial yang diarahkan untuk pengembangan masyarakat dengan memperhatikan kondisi pendidikan, sosial, politik, lingkungan, ekonomi, dan faktor lainnya.

 DAFTAR PUSTAKA 

Danim, Sudarman. 2006. Visi Baru Menajemen Sekolah. Jakarta : PT Bumi AksaraEarth Sistem Science, Inc. 2005, Community-based Education, http://www.neingborhoodlink.com/0rg/essi/clubextra/114449521.html. Galbraith, Michael W. 1995. Community –Based Organizations and The Delivery of Lifelong Learning Opportunities. : http.//www.ed.gov/pubs/PLLI Conf95/comm..html. (19 April 2006)Ihsan, Fuad. 2003. Dasar Dasar Kependidikan. Jakarta : Rineka CiptaPP Nomor 7. 2005. Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun. Jakarta : PT. Sinar Grafika.Sallis, Edward 2006, Total Quality Management In Education, Jogjakarta : IRCiSoD.Suryadi, Ace. 2001. Menyoal Mutu Pendidikan. http://www.kompas.com/kompas-cetak/html. Tilaar (2000), Pradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta, Rineka Cipta.Umaedi (1999), Menejemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, http://www.ssep.net/director.html.Undang-Undang Nomor 20. 2003, Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta : Diperbanyak oleh Harvarindo.UNDP (2004), Laporan Indeks Pembangunan, http://www.undp/or.id.html Zubaedi. 2005. Pendidikan Berbasis Masyarakat, Jakarta : Disarikan dari tulisan hasimmuhammad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Contoh laporan Penelitian Tindakan Kelas

< !-- Bahan pelajaran --> BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Masalah Semua guru atau siswa pasti selal...